Setiaptanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional, adapun asal-usul mengapa tanggal 28 April dijadikan sebagai Hari Puisi Nasional ialah karena bertepatan dengan hari kematian penyair legendaris Indonesia, yakni Chairil Anwar pada 28 April 1949. Kamimati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami. Kami sudah coba apa yang kami bisa. Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa. BACA JUGA : 10 Contoh Puisi Kemerdekaan, Cocok Untuk Merayakan HUT RI ke-77. ChairilAnwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 - wafat di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang". (dalam karyanya berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern cash. Gambar Saya tidak pernah menyangka bahwa puisi pertama dan terakhir Chairil Anwar berkisah tentang kematian. Agaknya dia sengaja. Seolah kematian sudah menjadi teman akrab. Atau barangkali Tuhan memang menakdirkan kematian’ di atas hidup Chairil. Umur 20 tahun ia menghadapi kenyaaan pahit. Oktober 1942, malaikat maut begitu kejam merenggut nyawa nenek tercinta. Chairil murung. Berhari-hari ia dirundung kesedihan. Neneknya, Mak Tupin memang menjadi sosok penting di mata Chairil. Dia tulus merawat Chairil waktu masih kecil. Tidak hanya itu, saat orang tua sedang bertikai, Mak Tupin-lah yang menjadi penengah dan menyejukkan kembali kondisi keluarga. Maka wajar jika dia merasa terpukul dengan kepergian Mak Tupin. Perihal kematian sang nenek, Chairil meluapkan segala perasaannya ke dalam bentuk frasa. Hingga terciptalah puisi “Nisan”, sebagai gambaran suasana batin Chairil setelah kehilangan sang nenek. Terlepas dari itu, “Nisan” menjadi puisi pertama yang mengawali karirnya sebagai penyair Bukan kematian benar menusuk kalbu Keridlaanmu menerima segala tiba Tak kutahu setinggi itu atas debu Dan duka maha tuan bertakhta Begitu dalam seorang Chairil meresapi makna kematian. Padahal saat itu dia masih terbilang muda, namun kepedihan sudah melekat dalam dirinya. Kepergian neneknya menambah cambukan bagi Chairil. Sebelumya, orang tuanya telah bercerai. Chairil ikut ibunya dan pindah dari Medan ke Batavia pada tahun 1942. Penuh Vitalitas Saya belum mampu seperti Arif Budiman yang bisa menghayati secara mendalam puisi-puisi Chairil dengan penuh kesadaran. Sehingga ia berhasil menyelami kehidupan Chairil dan menghasilkan buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan. Barangkali ini masalah keterbatasan wawasan kesusasteraan saya. Tetapi lewat buku Aku karya Sumandjaya, Ini Kali Tidak Ada yang Mencari Cinta karya Sirgus Susanto, serta referensi lain tentang biografi Chairil, saya tahu bahwa hidup Chairil penuh dengan penderitaan dan kesengsaraan. Setelah kepergian nenek, hidupnya tak tentu arah. Hari-hari yang dijalani amat semrawut. Ia semakin bohemian mencuri buku-buku di toko, datang ke tempat-tempat pelacuran, serta mabuk dan menggelandang di jalanan. Bahkan ia sendiri mengakui keliarannya dalam puisi “Aku” Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya yang terbuang Meski demikian, ia mempunyai vitalitas yang tinggi sebagai seorang penyair. Ia berbeda jalan dengan para pendahulunya seperti Amir Hamzah, Sultan Takdir, Armine pane, serta sastrawan Pujangga Baru lainnya yang dikendalikan Jepang. Saat menduduki Indonesia, Jepang mendirikan pusat kebudayaan dan mengendalikan para seniman untuk mendukung Perang Dunia II. Chairil mengecam keras tindakan Pujangga Baru. Dalam esai “Hoppla”, ia berani mengatakan bahwa Pujangga Baru tidak memberikan perubahan apa-apa dan masih setengah-setengah dalam menciptakan karya seni. Tindakan Chairil ini mendapatkan perlawanan balik. Ia pernah ditangkap oleh ospir Jepang. Tidak hanya itu, karya-karya dan keberadaannya juga tidak dihargai para sastrawan Pujangga Baru. Chairil sakit hati. Namun ia terus berjalan memperjuangkan ide-idenya dengan semangat Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang dan menerjang Luka dan bisa kubawa berlari Berlari Hingga hilang pedih dan peri Memilih Menderita’ Chairil menjalani hari-hari dengan penuh kesunyian. Ia merasa asing dengan kehidupan sekitarnya. Ia mempunyai idealisme sendiri kebebasan dan tidak mau berada di bawah kendali orang lain. Inilah jalan hidup “Tak Sepadan” yang ia pilih, dan ia siap menerima segala konsekuensinya. Aku mengembara serupa Ahasveros Dikutuk-sumpahi Eros Aku merangkaki dinding buta Tak satu juga pintu terbuka Ahasveros adalah seorang Yahudi dalam cerita Injil yang menolak Yesus datang ke rumahnya. Oleh Tuhan kemudian orang ini dikutuk untuk menjadi pengembara abadi, tidak pernah punya tempat tinggal seumur hidupnya. Chairil menganggap dirinya bernasib sama dengan Ahasveros. Hdupnya tak tentu arah. Tetapi inilah jalan yang menurutnya harus diperjuangkan. Pernah ia bekerja sebagai editor suatu majalah bersama Jassin. Karena bekerja untuk lembaga, maka mau tidak mau ia harus mematuhi kebijakan yang berlaku. Chairil harus bangun pagi-pagi, memakai pakaian rapi, berangkat ke kantor redaksi, dan bekerja di bawah tekanan deadline. Pekerjaan itu ia lakukan agar bisa mendapatkan pundi-pundi rupiah untuk menghidupi istri dan anaknya. Kerena hasil uang dari honor pusi tidak akan cukup membiayai hidupnya. Mengingat, kata Goenawan Mohamad, penyair adalah pekerjaan yang tidak jelas, tidak seperti dokter, guru, atau wartawan. Namun menjadi seorang editor tidak nyaman baginya. Itu bukanlah Chairil. Chairil sesungguhnya adalah seorang bohemian yang liar, bebas, tidak bisa dikekang, dan menabrak tatanan yang ada. Sebagaimana kata Sartre, “Manusia dihukum untuk merdeka”. Maka ia memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan itu. Ia kembali ke kehidupan lama meskipun dalam keadaan kere. Inilah pilihan Chairil. Chairil kembali melakukan rutinitas di luar menyair –membaca, berdiskusi, menulis, dan menerjemahkan- yang barangkali bisa dikatakan negatif’. Ia datang ke tempat pelacuran, minum alkohol di jalanan, mengunjungi rumah teman-teman sesama seniman, berjalan tak tahu arah tujuan, serta menyendiri dari keramaian. Ia lebih memilih menderita’ sebagaimana adanya. Ia rela menanggung risiko dari keputusannya itu. Saya meminjam ungkapan Arif Budiman dalam buku Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, “Ini artinya kesunyian. Ini artinya kesepian. Ini artinya penderitaan.” Pasrah dengan Nasib Apakah Chairil bahagia dengan cara hidup yang seperti ini? Entah! saya tidak tahu. Kebahagiaan itu relatif. Seseorang mempunyai letak kebahagiaannya masing-masing. Misalkan saya Chairil, saya sendiri akan sulit memaknai kebahagiaan. Saya tidak bisa bertanya seperti Goenawan Mohamad dalam pusi “Dingin Tak Tercatat” Tuhan, kenapa kita bisa bahagia? Barangkali inilah nasib hidup Chairil Anwar. Tuhan telah menakdirkannya. Ia tampaknya menerima semua ini dengan lapang dada. Sebagaimana dia pernah menulis Bukan maksudku mau berbagi nasib Nasib adalah kesunyian masing-masing Kendati demikian, dengan jalan hidup yang tidak jelas’, saya menduga bahwa semua itu ia lakukan untuk mencai tahu makna kehidupan dengan menghidupkan puisi. Kecintaannya terhadap seni dan sastra barangkali membuatnya menjadi seperti ini, agar bisa menyelami dan mendalami kondisi sosial yang tercermin dalam karyanya. Setelah berhenti menjadi editor, pendapatan Chairil tidak cukup banyak. Bahkan ia kesulitan dalam menghidupi keluarganya. Kondisi itu tentu membuat istrinya, Hapsah, berpikir-pikir untuk mempertahankan lelaki itu. Maka Chairil menyetujui permintaan Hapsah untuk “Bercerai”. Dia pun menerima dengan lapang dada Kita musti bercerai Biar surya kan menembus oleh malam di perisai Dua benua bakal bentur-membentur Merah kesumba jadi putih kapur Selanjutnya Chairil mengucapkan “Selamat Tinggal” kepada Hapsah dan anaknya, Evawani Segala menebal, segala mengental Segala tak kukenal Selamat tinggal Mendekati Ajal Setelah bercerai, kehidupan Chairil tambah semrawut. Sejumlah penyakit menggerogoti tubuhnya. Kondisi fisiknya pun semakin melemah. Ia tampak lebih menderita dari sebelum-sebelumnya. Dalam keadaan ini, Chairil tersadar bahwa ia harus mendekat kepada Tuhan. Bagaimana pun juga, ia tetap mengakui bahwa Tuhan adalah pencipta segalanya. Ia lemah, tak berdaya, dan ingin mengadu kepada Tuhan. Tak henti-hentinya ia melantunkan “Doa” Tuhanku aku hilang bentuk remuk Tuhanku aku mengembara di negeri asing Tuhanku di pintuMu aku mengetuk aku tidak bisa berpaling Setelah mendekati’ Tuhan, Chairil ingin masuk ke dalam “Sorga”. Tetapi ia sadar bahwa untuk menggapainya tidaklah mudah. aku minta pula supaya sampai di sorga yang kata Masyumi-Muhamadiyah bersungai susu dan bertabur bidari beribu Tapi ada suara menimbang dalam diriku nekat mencemooh Bisakah kiranya berkering dari kuyup laut biru gamitan dari tiap pelabuhan gimana? Situasi tersebut tampaknya menjadi tanda-tanda bahwa Chairil Anwar tidak akan hidup lama lagi. Saya pernah mendengar guru saya berkata, “Seseorang yang tiba-tiba mendekat ke Tuhan, kemungkinan pula ia semakin mendekati ajalnya”. Dalam hal ini memang banyak peristiwa yang terjadi di masyarakat. Misalnya orang mendadak alim dan rajin beribadah. Tahu-tahu, beberapa hari kemudian orang itu meninggal dunia. Tampaknya Chairil juga demikian. Apalagi, ia sering sakit-sakitan, kondisi tubuhnya semakin melemah. Wajahnya pucat dan ia sering mual-mual. Untuk bangun dari tempat tidur saja ia kesulitan. Sakit yang menggerogoti tubuh Chairil tidak kunjung hilang. Bahkan semakin parah seiring bertambahnya waktu. Virus menyebar ke mana-mana. Tetapi ia tidak punya banyak uang untuk membeli obat. Meramal Kematian Chairil tidak punya apa-apa. Hidupnya hanya menumpang di rumah teman. Untung teman senimannya mau menerima Chairil dan bersedia merawatnya saat sakit. Penyair bohemian itu tampaknya sudah menyadari akan datangnya kematian. Dia sebenarnya punya vitalitas tinggi, namun takdir tidak bisa ditolak, bukan? Begitulah nasib yang mungkin ia harus terima, begitu kejam tanpa memandang waktu. Malam yang berwangi mimpi, berlucur debu Waktu jalan, aku tidak tahu apa nasib waktu Chairil yang dalam hidupnya tidak pernah mau mengalah, sepertinya saat ini harus mengalah dengan nasib. Ia hampir mencapai titik terakhirnya. Namun sebelum itu, ia berhasil menulis dua puisi terakhir. Keduanya sama-sama berbicara tentang kematian. Pertama, puisi “Yang Terampas dan Yang Putus”. Dalam puisi ini, Chairil seolah meramal kematiannya sendiri. Ia bahkan sudah berpesan jika nanti akan dimakamkan di Karet, daerahku Jakarta Pusat. di Karet, di Karet daerahku sampai juga deru angin aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku Sejumlah kritukus menafsirkan adalah yang akan datang. Maksudnya, Chairil akan pindah dari dunia ini ke dunia yang lain. Selain itu, dalam puisi ini, Chairil menyatakan bahwa dirinya harus berbenah, berkemas, untuk pergi meninggalkan tempatnya saat ini. Ia melepaskan segala kenangan. Cerita yang pernah ia jalani akan berlalu dan tidak bisa ia bawa pergi. Ia benar-benar telah kalah dan menyerah terhadap nasib. Ia tidak kuat menghadapi serangan berbagai penyakit seperti TBC, tifus, gangguan usus kronis. Puisi terakhirnya, "Derai-derai Cemara” menjadi tanda bahwa hidup telah berhasil mengalahkannya. Hidup hanya menunda kekalahan Tambah terasing dari cinta sekolah rendah Dan tahu, ada yang tak sempat diucapkan Sebelum akhirnya kita menyerah Ketika menulis puisi itu, Chairil tampaknya sudah mengerti kalau takdir akan segera menjemput. Penyair itu seolah bisa menentukan kisah hidupnya sendiri. Seperti kata Agus Noor dalam puisi “Aku Masih Punya Puisi” Penyair tak hanya menulis puisi, ia menulis takdirnya sendiri Dan ramalan Chairil ternyata benar. Tepat 28 April 1949 ia menutup mata untuk selamanya dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta Pusat, sesuai permintaannya. Sayang sekali, padahal waktu itu ia berada di puncak karir. Ia menjadi pembaharu bahasa dan sastra Indonesia. Rendra mengatakan bahwa karya-karya Chairil telah mampu menginspirasi para sastrawan sezaman dan sesudahnya. Paus Sastra Indonesia, Jassin, melabelinya sebagai pelopor Angkatan '45 yang telah berhasil meruntuhkan istana Pujangga Baru. Ada satu hal yang membuat saya prihatin –boleh jadi Anda semua belum tahu. Bahwa Chairil meninggal dunia di usia yang terbilang masih muda, yaitu umur 27 tahun. Barangkali inilah yang membuat namanya besar. Di usia muda, Chairil sudah memberikan pengaruh besar bagi bangsa ini, terkhusus dalam bidang bahasa dan sastra. Nama Chairil Anwar terdaftar dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta tahun 2006. Tetapi sayang, Chairil tidak mampu mewujudkan ambisinya untuk hidup seribu tahun lagi. Seperti yang pernah ia tulis, dua larik terakhir dalam puisi “Aku” Dan aku akan lebih tak peduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Meskipun Chairil gagal hidup seribu tahun lagi, tetapi jasanya tak pernah terlupakan. Jiwa dan semangatnya akan terus hidup abadi lewat karya-karyanya yang masih dapat kita nikmati sampai saat ini, bahkan lebih dari seribu tahun lagi. [Mahfud] Chairil Anwar, pelopor Angkatan 45 yang terkenal dengan puisi Aku dan tanggal wafatnya diperingati sebagai Hari Puisi Nasional di Indonesia. JAKARTA, - Chairil Anwar tergeletak selama 6 hari di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM Jakarta hingga akhirnya menghembuskan napas terakhir 28 April 1949. Hari ini, 73 tahun yang lalu pujangga pelopor Angkatan 45 itu pergi selamanya. Ia disebut menderita penyakit tifus, pun telah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi sejak usia ke 27 tahun, Chairil dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum TPU Karet Bivak. Tempat yang pernah ia sebutkan dalam puisinya berjudul Yang Terempas dan Yang Putus. Baca juga Patung Chairil Anwar di Malang Akan Ditetapkan Sebagai Cagar Budaya Di Karet, di Karet, sampai juga deru dingin Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datangdan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamutapi kini hanya tangan yang bergerak lantang. Tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku. Dinilai sebagai pelopor Berdasarkan buku Chairil Anwar, Hasil Karya dan Pengabdiannya 2009 karya Sri Sutjianingsih di zaman penjajahan Jepang, Chairil dikenal sebagai seorang sastrawan muda yang berani mengemukakan pendapat. Ia tak setuju dengan sikap berbagai sastrawan yang memilih untuk menjadi corong propaganda Jepang dengan bergabung ke Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Shidoso pada 1943. Chairil menginginkan perubahan besar dalam dunia sastra kala itu. Ia kerap mengkritisi puisi angkatan Pujangga Baru dari sisi semangat dan bentuk. Puisi-puisi Chairil lantas lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sehari-hari, ketimbang bahasa buku yang kaku. Bentuk irama puisi Chairil jauh dari pantun, syair, atau sajak bebas angkatan Pujangga Baru. Berbagai karyanya menggambarkan cinta, perjuangan dan pemberontakan. Gaya itu dinilai memberikan kebebasan berpikir dalam seni dan budaya, sesuatu yang tidak diberikan Jepang pada kesusastraan juga Puisi Aku Berkaca karya Chairil Anwar Chairil telah membawa pembaruan dunia sastra Indonesia kala itu, mendobrak aturan-aturan yang kaku, ia mau jadi manusia merdeka. Setelah karya-karyanya diterima, sastrawan seumuran Chairil mulai dijuluki dengan berbagai macam istilah seperti Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, dan Angkatan Kemerdekaan. Baru pada 1948, Rosihan Anwar menyebut para sastrawan itu dengan sebutan Angkatan 45. Menurut Abdul Hadi WM, Chairil juga menamai sastrawan di eranya itu dengan nama yang sama. Perjuangan, kekalahan dan patah hati Chairil menulis berbagai macam puisi dan sajak sejak tahun 1942 hingga 1949. Karena menonjolkan sisi individualisme, karya-karya Chairil banyak menggambarkan tentang kondisi yang ia rasakan seperti perjuangan, kekalahan dan patah hati. Beberapa puisinya yang tenar berjudul Aku, Diponegoro, dan Karawang-Bekasi. Soal perjuangan, Chairil pernah menulis puisi berjudul Perdjandjian Dengan Bung Karno yang ditulisnya tahun 1948. Sedikit isinya sebagai berikut Ayo! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin djandjiAku sudah tjukup lama dengar bitjaramudipanggang atas apimu, digarami oleh lautmuDari mulai tgl 17 Agustus 1945Aku melangkah kedepan berada rapat disisimu Baca juga Patung Tokoh di Tiap Penjuru Monas Dari Diponegoro, Kartini, hingga Chairil Anwar Banyak puisi Chairil bicara tentang patah hati. Februari 1943, ditulisnya puisi berjudul Tak Sepadan. Bait terakhir puisinya itu berbunyi Karena kau tidak kan apa-apaAku terpanggang tinggal rangka Jelang kematiannya di tahun 1949, Chairil masih berkarya dengan membuat sajak berjudul Derai Derai Cemara, salah satu barisnya berbunyi Hidup hanya menunda kekalahan. Meski mati muda, Chairil selalu terkenang. Tanggal kepergiannya selalu diperingati sebagai Hari Puisi. Dalam tiap karyanya, Chairil abadi, seperti bunyi salah satu sajaknya Aku mau hidup seribu tahun lagi. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Tag Puisi Aku Berkaca karya Chairil Anwar 7 Tokoh Asal Medan, dari Chairil Anwar, Burhanuddin Harahap, hingga Joko Anwar Patung Tokoh di Tiap Penjuru Monas Dari Diponegoro, Kartini, hingga Chairil Anwar Biografi Chairil Anwar, "Si Binatang Jalang" Hari Puisi Nasional 28 April Sejarah dan Sosok Chairil Anwar Polemik Puisi Cinta dan Benci yang Disebut Karya Chairil Anwar, Ini Klarifikasi Sutradara Film Binatang Jalang Ramai soal Puisi Cinta dan Benci di Film Binatang Jalang, Bukan Karya Chairil Anwar? Rekomendasi untuk anda Powered by Jixie mencari berita yang dekat dengan preferensi dan pilihan Anda. Kumpulan berita tersebut disajikan sebagai berita pilihan yang lebih sesuai dengan minat Anda. Puisi Penghidupan Karya Chairil Anwar Penghidupan Lautan maha dalam Mukul dentur selama Nguji tenaga pematang kita Hingga hancur remuk redam Kurnia Bahagia Kecil setumpuk Sia-sia dilindungi, sia-sia dipupuk. Desember, 1942Puisi PenghidupanKarya Chairil AnwarBiodata Chairil AnwarChairil Anwar lahir di Medan, pada tanggal 26 Juli Anwar meninggal dunia di Jakarta, pada tanggal 28 April 1949 pada usia 26 tahun.Chairil Anwar adalah salah satu Sastrawan Angkatan 45.

puisi kematian chairil anwar